Sabtu, 06 Oktober 2007

Ibu, Guru Terbaikku

وَوَصَّيْنَاالْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ
وَفِصَالُهُ فِى عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْلِى وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيْرُ…..

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,…”
(Q.S. Lukman/31: 14)


Ibnu Katsir memberikan komentar dalam menafsirkan ayat 14 surat Luqman di atas. Pengorbanan seorang ibu terhadap anak, menurutnya bersifat akumulatif (syumûliyyah). Hal ini dapat dilihat dari fase mendidik anak yang tidak kenal waktu, siang dan malam, yang semua itu dilakukannya benar-benar dalam keadaan sulit dan peluh. Supaya anak senantiasa ingat akan jasa-jasa kedua orang tuanya terutama ibu, hingga diharapkan dapat berbuat baik saat dewasa. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Imam Mujahid, Qotadah dan ‘Atha Al Khurasany. (Tafsir Ibnu Katsîr III, h. 416)
Subhanallah! Demikian mulianya kedudukan seorang ibu di tengah-tengah manusia, hingga Allah Ta’ala secara khusus memberikan apresiasi atas pengorbanannya. Saat mengandung selama 9 bulan misalnya, perjalanannya sebagai calon ibu, tak jarang mengalami gangguan baik dalam maupun luar. Gangguan dalam misalnya: komplikasi selama kehamilan, keguguran, ketuban pecah dini, kelainan rhesus darah ibu dengan janin, hamil anggur; sel telur yang seharusnya berkembang manjadi janin justru terhenti perkembangannya membentuk gelembung-gelembung berisi cairan mirip anggur, plasenta previa; melekatnya plasenta pada bagian bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh jalan rahim, makin dekat posisi plasenta dengan mulut rahim makin besar kemungkinan terjadi pendarahan, dan gangguan-gangguan dalam lainnya. Penderitaan ini belum lagi ditambah dengan kondisi psikologis (kejiwaan) sang ibu yang sangat labil. Gangguan luar seperti hubungan dengan suami, keluarga, kerabat dan tetangga, juga dapat memberi dampak buruk bagi kehamilan, bila tidak terjadi komunikasi yang harmonis diantara mereka. Keadaan lemah dan terus melemah (adh’âfan mudhâ’afan) seperti ini tentu tidak mudah dilalui bagi seorang ibu. Penderitaan mereka baru akan sedikit terobati dengan kelahiran sang buah hati, meskipun harus dibayar dengan rasa sakit yang luar biasa, bahkan sebagian dari mereka rela mati demi kelahiran sang buah hatinya. Daftar penderitaan seorang ibu terus akan bertambah seiring dengan perjalanan waktu si kecil dan tugas selaku seorang istri dalam sebuah keluarga. (Sasa Esa Agustina, Wanita Antara Cinta & Keindahan, h.205).
Sederet penderitaan yang diemban seorang ibu, justru menambah nilai kemuliaan dan menaikkan kedudukan kaum ibu di atas kaum ayah. Barangkali kelebihan inilah yang membedakan cara dalam memperlakukan ayah dan ibu.

عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ:يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتىِ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أَبُوْكَ.
Dari Abi Hurairah ra., Ia berkata, “Datang seorang pemuda kepada Rasulullah saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti?” Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu,” Ia berkata, “Kemudian kepada siapa?” Jawab Rasulullah, “Kepada ibumu.” Ia berkata, “Kemudian kepada siapa?” Jawab Rasulullah, “Kepada ibumu,” Ia berkata, “Kemudian kepada siapa?” Rasulullah berkata, “Kepada ayahmu”. (HR. Bukhari)
Imam An Nawawy berkata, hadits ini hakikatnya memerintahkan kepada kita untuk senantiasa berbakti kepada semua kerabat, akan tetapi bilkhusûsh dan utama kepada ibu, baru kemudian ayah dan kerabat serta kerabat jauh. (Muhammad Fuâd Abdul Bâqi’, Lu’lu’ wal Marjân II, h. 787)
Pengorbanan seorang ibu tidak sampai di situ saja. Setelah terhibur -walaupun sesaat- dengan kelahiran sang buah hati, tugas berat lain sudah siap menanti. Mulai dari menyusui, membersihkan kotoran, menenangkan kita kala menangis, mencuci pakaian, memandikan, terbangun di tengah malam, dan lain sebagainya. Belum lagi ditambah dengan tugas-tugas sebagai seorang istri, yang harus mengurus rumah tatkala suami bekerja; menyapu, mengepel, mencuci pakaian, memasak, menyetrika, membereskan perabotan, mengisi bak mandi dan lain sebagainya. Padahal, semua tugas ini baru diasumsikan ibu dengan satu anak, bagaimana dengan dua, tiga, empat, lima atau lebih anak. Lebih-lebih, pekerjaan ini adalah rutinitas harian, sehingga seorang ibu benar-benar harus memiliki tenaga ekstra dan jiwa berkorban yang tinggi untuk melakukan semua tugas berat ini.

Belajar di Rumah
Bila ditanya, dimana anak-anak belajar untuk pertama kalinya? Dimana mereka dapat menuntut ilmu dengan harga murah serta hasil memuaskan? Jawaban paling tepat, tentu saja di rumah. Pilihan pertama bagi kita untuk menumbuhkan keinginan sekaligus mengajarkan pada anak-anak, semua hal yang belum diketahuinya. Lewat pembelajaran secara simultan. praktis dan familiar. Pelajaran di rumah sebenarnya memiliki potensi dan kelebihan dari belajar secara formal di sekolah pada umumnya. Lalu siapa guru-gurunya? Siapa lagi kalau bukan ayah dan ibunya. Ayah sebagai kepala sekolah sekaligus administrator dan ibu sebagai pengajar utamanya. Lantas bagaimana kurikulumnya? Tinggal disesuaikan dengan apa yang akan didapat di masyarakat dan di sekolahnya dengan tambahan pelajaran favorit, aqidah dan kepribadian (akhlaq). Adapun gaya, waktu, sarana dan prasarana pengajaran, serta trik-triknya dibuka seluas-luasnya bagi orang tua untuk berekspresi.
Mengapa rumah disebut sebagai tempat yang paling efektif dalam membina seorang anak menjadi shaleh dan pintar. Karena waktu yang dijalani anak-anak di sekolah, jauh lebih sedikit daripada di sekolahnya. Setelah dipotong dengan waktu libur akhir semester, hari raya besar nasional, hari Minggu, praktis jumlah hari bersekolah hanya sekitar 240 hari saja setiap tahunnya. Itu pun waktu dihabiskan setiap harinya hanya berkisar antara 2 jam sampai 6 jam saja setiap harinya. Jika kita asumsikan anak-anak menghabiskan 6 jam di sekolah setiap harinya, maka dalam 240 hari, jumlah yang dihabiskan di sekolah mencapai 1.440 jam atau setara dengan 60 hari. Dengan kata lain, dalam setahun sesungguhnya anak-anak kita menghabiskan hanya 60 hari saja untuk bersekolah, selebihnya dihabiskan di luar sekolah. Karena itu, pantauan dan kualitas pertemuan antara orang tua, terutama ibu dan anak di rumah berperan penting dalam pembentukan sikap (akhlaq) dan kecerdasan bagi si anak. (Koran Tempo, 6/1/2002)

Menurut psikolog, Muhibbin Syah, M.Ed, pelajaran pertama bagi anak sebenarnya sudah disampaikan seorang ibu sejak dalam kandungannya. Sebab, apa yang dimakan ibu tentu dimakan anak, apa yang diminum ibu juga diminum oleh anak, bila ibu merokok anak pun ikut merasakan dan mengalami efek negatifnya, bahkan menurut penelitian seorang anak dalam kandungan juga dapat mendengarkan nyanyian klasik Sebastian Bach, Mozart, dan Barroqeu, yang dipercaya dapat menumbuhkan sistem kecerdasannya. Kalau nyanyian saja dapat membantu mengembangkan kecerdasannya, apalagi jika mereka sering diperdengarkan lantunan ayat-ayat suci al-Qur`ân, yang sudah jelas-jelas kemuliaannya. Setelah lahir, ibu akan mengajarkan kepada kita bagaimana memakan, meminum, berjalan, berdiri, berbicara, membedakan mana baik dan buruk, mengenalkan anggota keluarga dan cara menyapanya, bermain dst. Semua ini dialami setiap anak yang berusia satu hingga enam tahun. (Muhibbin Syah, M.Ed, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Rosdakarya, 2002, h. 49-50)
Disinilah sesungguhnya seorang ibu ditempatkan sebagai guru sebenarnya, bukan ayah. Karena persentase pertemuan antara anak dan ibu jauh lebih banyak daripada dengan ayah. Oleh karenanya, hubungan antara ibu dan anak terasa dekat. Kaum ibu mempunyai kedudukan yang agak berbeda dan khas dalam Islam, karenanya Allah swt. menempatkan posisi kaum ibu setara dengan para mujahidah bila ia menjalankan perannya sebagai ibu dan istri yang baik. “Siapa di antara kalian para istri dan ibu yang ikhlas tinggal di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya, maka ia mendapat pahala yang kadarnya sama dengan para mujahidin di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tidak ada seorang ibu pun yang rela anaknya menderita, atau menjadi penjahat. Semua sepakat menginginkan anak-anaknya menjadi orang yang berguna, pintar lagi shaleh dan shalehah. Sebagai ibu, ia sadar posisi dan skala prioritas dalam menjalani kehidupannya. Rumah adalah basis utama kerja dan dakwahnya. Setiap belaian kasih sayangnya adalah kebaikan, setiap hukuman karena pelanggaran anak-anaknya adalah dakwah, di tiap mangkuk masakannya penuh dengan keberkahan. Oleh karenanya, nilai ibadah terbesar seorang ibu di mata Allah swt. justru membesarkan anaknya dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Kita sebagai seorang anak hendaknya mulai sadar dan mengerti betapa pedih dan panjang pengorbanan seorang ibu. Ia bukan hanya melahirkan dan membesarkan, tapi juga mengajarkan semua hal yang belum kita tahu. Ia pun rela mengalah untuk tidak makan lantaran kita belum makan. Pantaskah bila kita masih berkata “ah” terhadapnya? Bersuara keras didepannya? Bahkan menjelek-jelekkannya? Na’ûdzubillâh. Rabbighfirlî waliwâlidayya warhamhumâ kamâ rabbayânî shaghîrâ. Amin.

Tidak ada komentar: