Kamis, 27 September 2007

Dakwah dan Kebudayaan

Definisi Kebudayaan

Diskursus mengenai kebudayaan tidak pernah habis-habisnya dibahas dari masa ke masa. Kebudayaan selalu menjadi tema menarik yang patut diperbincangkan. Hampir semua sejarah dunia dan pelakunya, bahkan hingga kini hakikatnya tetap sama-sama mempejuangkan kebudayaan. Cakupan kebudayaan terlalu luas hingga peradaban suatu negeri pun, sangat dipengaruhi dengan konsep kebudayaan yang dianut. Semakin tinggi kebudayaan, semakin maju pula peradaban suatu negeri. Sebaliknya, semakin rendahnya kebudayaan, maka semakin rendah pula peradaban negeri tersebut.

Lantas apa sebenarnya kebudayaan? Apa yang menentukan kebudayaan suatu negeri? Bagaimana menciptakan kebudayaan yang unggul? Apa akibatnya, salah menentukan konsep kebudayaan? Semua pertanyaan ini penting untuk segera ditemukan jawabannya. Karena kita harus sadar, saat ini perang antar kebudayaan benar-benar nyata, bahkan tanpa sadar selama ini kita justru telah termakan kebudayaan asing yang tidak jelas tujuan dan cenderung menghancurkan serta merugikan.

Kebudayaan ternyata memiliki definisi yang tidak sedikit. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganic, karena kebudayaan diwarisi turun-temurun dari generasi ke generasi. Walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran. Kebudayaan meliputi semua bidang yang seolah-olah tanpa ada batasannya. Dengan demikian sukar sekali mendapatkan pembatasan pengertian atau definisi yang tegas dan terinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya termasuk dalam pengertian tersebut. Krober dan Kluckhora mendaftar lebih dari 160 definisi yang dapat ditemukan untuk menjelaskan makna kebudayaan.

Diantaranya pendapat seorang antropolog, E.B. Taylor (1871), yang memberikan definisi kebudayaan sebagai suatu tatanan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

Unsur Kebudayaan

Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat tentu memiliki corak dan warna yang berbeda satu dengan lainnya. Tapi bila ditarik cross cutting aviliation (benang merah), dalam pandangan Barat, kebudayaan pada hakikatnya memiliki unsur-unsur pembangun yang relatif sama. Seperti Melville J. Herskovits yang mengajukan 4 unsur pokok kebudayaan, yaitu: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik. Menurut Herskovits, bila seseorang ingin mengukur kebudayaan suatu negeri, maka cukup menganalisa keempat unsur tersebut. Keempat unsur inilah yang nantinya sangat berperan dalam pembentukan dan peningkatan kebudayaan suatu tempat.

Akan tetapi ada sesuatu yang sangat janggal, dan layak untuk dikomentari. Kenapa agama tidak dijadikan pondasi dalam menciptakan kebudayaan? Apa karena faktor sejarah hitam, Nashrani, yang berbeda dengan Islam? Kalau memang demikian, kita patut memakluminya. Namun dalam sudut pandang Islam, peran syariat dalam pembentukan kebudayaan benar-benar sangat dominan. Bahkan hampir semua kebudayaan muslim terdahulu, berkembang sebagai wujud realisasi penerapan syariat dalam kehidupan masyarakatnya.

Dengan demikian, peran syariat, lebih khususnya dakwah, mendapat tempat yang tidak dapat disepelekan. Bahkan justru esensi kebudayaan adalah penerapan syariat itu sendiri. Sedangkan dakwah adalah cara atau sarana dalam menjawab bagaimana kebudayan itu dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Penjelasan ini sama sekali tidak menandaskan bahwa Islam adalah agama kebudayaan. Bukan pula agama yang muncul karena perpaduan kebudayaan. Islam adalah agama wahyu yang murni dari campur tangan budaya manusia yang bersifat relatif.

“Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja; Islam adalah satu kebudayaan yang lengkap”, demikian pengakuan seorang pujangga ahli tarikh dan kebudayaan Prof. H.A.R. Gibb dalam bukunya yang terkenal: Wither Islam. Sepintas pernyataan orientalis ini begitu indah dan hiperbolik, tapi apakah yang dinyatakannya tersebut benar, tanpa ada kaitannya dengan pemikiran yang menyudutkan Islam? Atau justru umat dijebak dengan pernyataan ini. Secara tidak langsung pernyataan ini menggiring kita untuk mengakui bahwa Islam adalah memang sebuah agama budaya. Dengan demikian konsepsi, syariat yang terkandung didalamnya, juga bersifat seperti kebudayaan lain yang bersifat relatif, nisbi dan rentan kecacatan.

Salah seorang tokoh Islam Indonesia yang tersihir dengan pernyataan ini adalah almarhum pak Natsir. Dalam salah satu bukunya, beliau mengutip pendapat H.A.R Gibb, tanpa berusaha mengkritiknya. Baru kemudian pernyataan orientalis ini dikritisi habis oleh murid Natsir, Endang Saefuddin Anshari dalam bukunya, Wawasan Islam, dengan alasan sebagaimana disebutkan di atas.

Seorang sarjana muslim berkenegaraan Jerman, yang banyak dipengaruhi pemikiran liberal, Bassam Tibi, memasukkan pengertian Clifford Gertz tentang agama dalam bukunya, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Menurut CG, agama adalah sebuah sistem budaya, yang kemudian ditambahkan Tibi, sebagai agama budaya, maka ia merupakan simbol yang mesti terwarnai dengan konsp-konsep faktual, agar lebih realistik.

Kedua pengertian ini hakikatnya sengaja dibuat untuk menyudutkan Islam. Seakan ingin mengatakan bahwa Islam adalah juga agama budaya seperti apa yang dialami agama lain. Sampai akhirnya berharap pada satu tujuan, penghancuran Islam seutuhnya.

Dakwah dan Kebudayaan

Lembaran sejarah membuktikan bagaimana dakwah mampu menciptakan kebudayaan suatu negeri. Bangunan-bagunan indah nan artistik di Spanyol adalah bukti nyata, bahwa dakwah mampu membangun kebudayaan arsitektur dan ornamen. Masuknya Islam ke Aceh pada abad ke tujuh atau ke delapan masehi, pun banyak mempengaruhi adat istiadat setempat. Demikian besarnya pengaruh ini, sampai-sampai ada pepatah berbunyi, hukom ngo adat layee zat ngo sipheuet (hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisah). Yang dimaksud hukum di sini tentunya adalah hukum Islam. Hingga sapaan waktu berjumpa dan berpisah, tidak lagi diucapkan dengan yang lain-lain, melainkan assalâmu’alaikum (selamat Tuan) dan jawabannya wa’alaikum salam wa rahmatullâh (Tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang menerima pemberian dari orang lain, tidak lagi mengucapkan terima kasih atau kalimat yang lain, melainkan sudah diganti dengan alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Begitu pula dengan ucapan saat ada yang meninggal, mereka telah terbiasa mengucapkan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.

Banyak kemajuan peradaban yang sebenarnya bila ditelusuri lebih jauh merupakan implikasi dari kerja dakwah. Seperti kemajuan tekstil sebagai jawaban terhadap permintaan masyarakat muslim akan kebutuhan pakaian muslim dan muslimah. Bisnis travel, sebagai jawaban atas kebutuhan umat Islam pada rukun islam terakhir, ibadah haji. Usaha toilet berikut mushollanya, di tempat-tempat ramai, sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat muslim akan ibadah shalat, dan lain sebagainya. Ironisnya, kemajuan ini justru dinikmati bukan oleh kalangan muslim sendiri. Kita barangkali tidak menyadari kalau yang membuat sarung, sajadah, peci, baju koko, lembaran mushaf al-Qur’an, dan lain-lainnya, adalah hasil kreasi orang-orang Cina, yang sengaja memanfaatkan kebutuhan umat sebagai ladang mencari untung. Bagi mereka yang penting adalah profitnya. Selama tidak mengusik keberadaan mereka dan mendatangkan keuntungan, bisnis supplier barang-barang muslim merupakan pasar yang sangat menggiurkan.

Saat ini yang harus dipikirkan adalah bagaimana kebudayaan, peradaban, teknologi, ilmu pengetahuan, dapat dipegang oleh orang-orang Islam. Bagaimana umat dapat menguasai semua sektor terpenting masyarakat tersebut? Jawabannya adalah dakwah yang cantik dan terorganisir. Sudah saatnya, umat butuh bukti bukan wacana-wacana ’gombal’ yang terkesan melangit. Dakwah harus mampu mengubah kebudayaan western yang saat ini begitu menghegemonik di dunia. Mungkinkah ini terwujud?

Disusun oleh:

Sofyan Wijananto