Rabu, 10 Oktober 2007

Butir-butir Nasihat Abu Bakar Ash Shiddîq

Sekilas Tentang Abu Bakar Ash-Shiddîq R.A
Namanya adalah Abdullâh bin Utsmân bn 'Âmir al-Quraisyi Abu Bakar bin Abi Qahafah Attaymi. Ia merupakan Khalîfatur Râsyidîn yang kali pertama dan termasuk salah satu dari sepuluh orang yang diberitahukan akan masuk surga. Ia juga termasuk orang yang paling awal masuk Islam dan orang dewasa laki-laki pertama yang masuk Islam.
Selain sebagai orator ulung dan pembesar Makkah yang dermawan, ternyata ia juga seorang prajurt yang namanya tercatat dengan gemilang dalam sejarah kejayaan Islam. Ada beberapa shahabat yang dulunya kafir dan menentang Nabi Muhammad saw., dengan kepiawaiannya berdiplomasi dan kewibawaannya, seorang Thalhah bin Ubaidillâh yang awalnya ingin mengajak Abu Bakar kembali menyembah Lattâ dan Uzzâ, tersentak bingung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Abu Bakr ra. Lama Thalhah terdiam. Merasa tidak dapat menjawab, dan kian bimbang, lantas ia meminta Abu Bakr ra untuk menerima kesaksiannya, bahwa tiada Tuhan yang layak disembah selain Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. adalah benar-benar utusan Allah swt. Seorang budak Umayyah, Bilal bin Rabah, juga diselamatkan dari kekufuran orang-orang Quraisy.
Abu Bakar ra. wafat di Madinah, tiga belas tahun setelah hijrahnya Rasulullah saw. ke kota Madinah. Ia dimakamkan di sisi makhluk terbaik , penutip para nabi dan imam orang-orang suci, yaitu Nabi Muhammad saw.
[1]

Butir-butir Nashihat
Ketika Rasulullah saw. telah berpulang ke sisi Rabbnya pada 12 Rabiul Awwal tahun 11 H (3 Juni 632 M), banyak shahabat yang tidak percaya tentang kematiannya. Umar bin Khattâb ra. adalah orang yang paling tidak percaya akan mangkatnya kekasih tercintanya itu. Abu Bakar ra. pun sangat sedih dengan kepulangan pemimpin sekaligus menantunya. Tapi ia adalah suratan taqdir, sekuat tenaga ia harus berusaha tegar.
Setelah mulai reda kondisi masyarakat Madinah, lantas timbul pertanyaan, siapakah nanti yang akan menggantikan Muhammad sebagai seorang pemimpin (khalîfatunnabiyy). Terjadi silang pendapat di kalangan shahabat yang cukup hebat. Kemudian di saat genting, Umar bin Khattab ra. tiba-tiba mengangkat tangah Abu Bakar ra., dan berkata: "Aba Bakr, bukankah Nabi menyuruhmu memimpin Muslimin untuk menunaikan shalat berjama'ah? Engkaulah penggantinya (khalifahnya). Kami akan mengikrarkan orang yang paling dicintai oleh Rasulullah di antara kita semua, ini." Baiat ini kemudian diikuti oleh Abu Ubaidah dan shahabat lainnya.
Setelah pembaiatan umum selesai di Saqifah, Abu Bakar berdiri di hadapan mereka dan menyampaikan sebuah pidato singkat. Dan inilah pidato pertama beliau setelah memangku jabatan sebagai khalifah. Perhatikan petikan khutbah beliau di bawah ini:
Kemudian, ia mengucapkan pujian dan penghormatan kepada Allah saw., lantas berkata: "Saudara-saudara. Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah orang terkuat di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya -insya Allah, dan orang terkuat di mata saya adalah orang terlemah, sesudah haknya nanti saya ambil –insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana itu kepada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasûlullâh, maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakan shalat, niscaya Allah akan merahmati kamu sekalian."

Sesungguhnya banyak pelajaran dan hikmah yang dapat dipetik dari khutbah singkat ini. Diantaranya sebagaimana berikut:
1. Khutbah ini diawali dengan pujian-pujian kepada Allah saw. Ini menunjukkan bahwa terpilihnya ia sebagai khalifah, merupakan tanggung jawab besar, yang harus dipikul dan dimintai pertanggungjawabannya, baik di dunia (masyarakat), lebih-lebih kepada Allah 'Azza wa Jalla.
2. Perkataan lastu bikhairikum, aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, menunjukkan kerendahan hati seorang Abu Bakar ra. Ia tidak malu mengatakan dirinya memiliki kekurangan dan kelemahan di hadapan masyarakat. Karena jabatan memang sangat berat tanggung jawabnya di mata Allah dan manusia. Apalagi menyangkut pemerintahan, yang penuh dengan godaan dan perhiasan dunia.
3. Ia bahkan mengatakan, jangan ikuti aku jika kalian sekalian mendapatkan aku bertentangan dengan Al-Qur'an dan As Sunnah. Tapi jika kalian yang melanggar aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya, ia tidak akan segan-segan untuk memerangi kaumnya. Hal ini pernah terbukti pada kasus beredarnya nabi palsu dan meninggalkan kewajiban zakat.
4. Bagi Abu Bakar ra, orang yang terkuat di kaumnya, baik dari segi harta, kekuatan fisik dan pengikut, tapi ia melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya, di mata beliau, ia hakikatnya orang lemah dan akan diperangi hingga bertaubat. Sebaliknya, orang yang lemah di kaumnya dari segi materi, tapi berpegang teguh dengan syariat Allah saw., di mata Abu Bakar ra., justru ialah yang terkuat.
5. Walaupun sebagai seorang pemimpin Negara, yang sejatinya duduk tenang menikmati kekayaan dan semua kemudahan, ia justru mengajak kaumnya untuk ikut berperang bersamanya. Bahkan ia bersaksi, barang siapa yang tidak ikut ikut berjihad (perang), sedang ia mampu, niscaya Allah saw. akan menimpakan kehinaan dan bencana.
6. Terakhir, pesan beliau kepada kaumnya untuk tidak meninggalkan shalat. Karena Allah swt. akan senantiasa mencurahkan rahmat dari sisi mana pun.

Pada dasarnya masih banyak butiran nashihat yang dapat diambil dari khutbah singkat ini. Keenam poin ini saja masih bagian kecil dari luasnya hikmah yang dapat dipetik. Belum lagi dari segi bahasa yang digunakan Abu Bakar ra. Singkat, jelas, musah dipahami dan berbobot. Seperti ada nilai seni sastra yang dikandung khutbah ini. Wallâhu A'lam.

Referensi:
Al-Kandahlawi, M. Yusuf, Hayâtush Shahâbah II-III, Darul Qalam, 1983.
Al-Minsyâwi, M. Shiddîq, 100 Kisah Teladan Abu Bakar ra., Gema Insani Press, 2005.
Haikal, M. Husein, Abu Bakar As-Shiddiq, Litera Antarnusa, 2001.

[1] M. Shiddîq al-Minsyâwi, 100 Kisah Teladan Abu Bakar ra., Gema Insani Press: Jakarta, 2005, hal. 16.

Sabtu, 06 Oktober 2007

Ibu, Guru Terbaikku

وَوَصَّيْنَاالْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ
وَفِصَالُهُ فِى عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْلِى وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيْرُ…..

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,…”
(Q.S. Lukman/31: 14)


Ibnu Katsir memberikan komentar dalam menafsirkan ayat 14 surat Luqman di atas. Pengorbanan seorang ibu terhadap anak, menurutnya bersifat akumulatif (syumûliyyah). Hal ini dapat dilihat dari fase mendidik anak yang tidak kenal waktu, siang dan malam, yang semua itu dilakukannya benar-benar dalam keadaan sulit dan peluh. Supaya anak senantiasa ingat akan jasa-jasa kedua orang tuanya terutama ibu, hingga diharapkan dapat berbuat baik saat dewasa. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Imam Mujahid, Qotadah dan ‘Atha Al Khurasany. (Tafsir Ibnu Katsîr III, h. 416)
Subhanallah! Demikian mulianya kedudukan seorang ibu di tengah-tengah manusia, hingga Allah Ta’ala secara khusus memberikan apresiasi atas pengorbanannya. Saat mengandung selama 9 bulan misalnya, perjalanannya sebagai calon ibu, tak jarang mengalami gangguan baik dalam maupun luar. Gangguan dalam misalnya: komplikasi selama kehamilan, keguguran, ketuban pecah dini, kelainan rhesus darah ibu dengan janin, hamil anggur; sel telur yang seharusnya berkembang manjadi janin justru terhenti perkembangannya membentuk gelembung-gelembung berisi cairan mirip anggur, plasenta previa; melekatnya plasenta pada bagian bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh jalan rahim, makin dekat posisi plasenta dengan mulut rahim makin besar kemungkinan terjadi pendarahan, dan gangguan-gangguan dalam lainnya. Penderitaan ini belum lagi ditambah dengan kondisi psikologis (kejiwaan) sang ibu yang sangat labil. Gangguan luar seperti hubungan dengan suami, keluarga, kerabat dan tetangga, juga dapat memberi dampak buruk bagi kehamilan, bila tidak terjadi komunikasi yang harmonis diantara mereka. Keadaan lemah dan terus melemah (adh’âfan mudhâ’afan) seperti ini tentu tidak mudah dilalui bagi seorang ibu. Penderitaan mereka baru akan sedikit terobati dengan kelahiran sang buah hati, meskipun harus dibayar dengan rasa sakit yang luar biasa, bahkan sebagian dari mereka rela mati demi kelahiran sang buah hatinya. Daftar penderitaan seorang ibu terus akan bertambah seiring dengan perjalanan waktu si kecil dan tugas selaku seorang istri dalam sebuah keluarga. (Sasa Esa Agustina, Wanita Antara Cinta & Keindahan, h.205).
Sederet penderitaan yang diemban seorang ibu, justru menambah nilai kemuliaan dan menaikkan kedudukan kaum ibu di atas kaum ayah. Barangkali kelebihan inilah yang membedakan cara dalam memperlakukan ayah dan ibu.

عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ:يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتىِ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أَبُوْكَ.
Dari Abi Hurairah ra., Ia berkata, “Datang seorang pemuda kepada Rasulullah saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti?” Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu,” Ia berkata, “Kemudian kepada siapa?” Jawab Rasulullah, “Kepada ibumu.” Ia berkata, “Kemudian kepada siapa?” Jawab Rasulullah, “Kepada ibumu,” Ia berkata, “Kemudian kepada siapa?” Rasulullah berkata, “Kepada ayahmu”. (HR. Bukhari)
Imam An Nawawy berkata, hadits ini hakikatnya memerintahkan kepada kita untuk senantiasa berbakti kepada semua kerabat, akan tetapi bilkhusûsh dan utama kepada ibu, baru kemudian ayah dan kerabat serta kerabat jauh. (Muhammad Fuâd Abdul Bâqi’, Lu’lu’ wal Marjân II, h. 787)
Pengorbanan seorang ibu tidak sampai di situ saja. Setelah terhibur -walaupun sesaat- dengan kelahiran sang buah hati, tugas berat lain sudah siap menanti. Mulai dari menyusui, membersihkan kotoran, menenangkan kita kala menangis, mencuci pakaian, memandikan, terbangun di tengah malam, dan lain sebagainya. Belum lagi ditambah dengan tugas-tugas sebagai seorang istri, yang harus mengurus rumah tatkala suami bekerja; menyapu, mengepel, mencuci pakaian, memasak, menyetrika, membereskan perabotan, mengisi bak mandi dan lain sebagainya. Padahal, semua tugas ini baru diasumsikan ibu dengan satu anak, bagaimana dengan dua, tiga, empat, lima atau lebih anak. Lebih-lebih, pekerjaan ini adalah rutinitas harian, sehingga seorang ibu benar-benar harus memiliki tenaga ekstra dan jiwa berkorban yang tinggi untuk melakukan semua tugas berat ini.

Belajar di Rumah
Bila ditanya, dimana anak-anak belajar untuk pertama kalinya? Dimana mereka dapat menuntut ilmu dengan harga murah serta hasil memuaskan? Jawaban paling tepat, tentu saja di rumah. Pilihan pertama bagi kita untuk menumbuhkan keinginan sekaligus mengajarkan pada anak-anak, semua hal yang belum diketahuinya. Lewat pembelajaran secara simultan. praktis dan familiar. Pelajaran di rumah sebenarnya memiliki potensi dan kelebihan dari belajar secara formal di sekolah pada umumnya. Lalu siapa guru-gurunya? Siapa lagi kalau bukan ayah dan ibunya. Ayah sebagai kepala sekolah sekaligus administrator dan ibu sebagai pengajar utamanya. Lantas bagaimana kurikulumnya? Tinggal disesuaikan dengan apa yang akan didapat di masyarakat dan di sekolahnya dengan tambahan pelajaran favorit, aqidah dan kepribadian (akhlaq). Adapun gaya, waktu, sarana dan prasarana pengajaran, serta trik-triknya dibuka seluas-luasnya bagi orang tua untuk berekspresi.
Mengapa rumah disebut sebagai tempat yang paling efektif dalam membina seorang anak menjadi shaleh dan pintar. Karena waktu yang dijalani anak-anak di sekolah, jauh lebih sedikit daripada di sekolahnya. Setelah dipotong dengan waktu libur akhir semester, hari raya besar nasional, hari Minggu, praktis jumlah hari bersekolah hanya sekitar 240 hari saja setiap tahunnya. Itu pun waktu dihabiskan setiap harinya hanya berkisar antara 2 jam sampai 6 jam saja setiap harinya. Jika kita asumsikan anak-anak menghabiskan 6 jam di sekolah setiap harinya, maka dalam 240 hari, jumlah yang dihabiskan di sekolah mencapai 1.440 jam atau setara dengan 60 hari. Dengan kata lain, dalam setahun sesungguhnya anak-anak kita menghabiskan hanya 60 hari saja untuk bersekolah, selebihnya dihabiskan di luar sekolah. Karena itu, pantauan dan kualitas pertemuan antara orang tua, terutama ibu dan anak di rumah berperan penting dalam pembentukan sikap (akhlaq) dan kecerdasan bagi si anak. (Koran Tempo, 6/1/2002)

Menurut psikolog, Muhibbin Syah, M.Ed, pelajaran pertama bagi anak sebenarnya sudah disampaikan seorang ibu sejak dalam kandungannya. Sebab, apa yang dimakan ibu tentu dimakan anak, apa yang diminum ibu juga diminum oleh anak, bila ibu merokok anak pun ikut merasakan dan mengalami efek negatifnya, bahkan menurut penelitian seorang anak dalam kandungan juga dapat mendengarkan nyanyian klasik Sebastian Bach, Mozart, dan Barroqeu, yang dipercaya dapat menumbuhkan sistem kecerdasannya. Kalau nyanyian saja dapat membantu mengembangkan kecerdasannya, apalagi jika mereka sering diperdengarkan lantunan ayat-ayat suci al-Qur`ân, yang sudah jelas-jelas kemuliaannya. Setelah lahir, ibu akan mengajarkan kepada kita bagaimana memakan, meminum, berjalan, berdiri, berbicara, membedakan mana baik dan buruk, mengenalkan anggota keluarga dan cara menyapanya, bermain dst. Semua ini dialami setiap anak yang berusia satu hingga enam tahun. (Muhibbin Syah, M.Ed, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Rosdakarya, 2002, h. 49-50)
Disinilah sesungguhnya seorang ibu ditempatkan sebagai guru sebenarnya, bukan ayah. Karena persentase pertemuan antara anak dan ibu jauh lebih banyak daripada dengan ayah. Oleh karenanya, hubungan antara ibu dan anak terasa dekat. Kaum ibu mempunyai kedudukan yang agak berbeda dan khas dalam Islam, karenanya Allah swt. menempatkan posisi kaum ibu setara dengan para mujahidah bila ia menjalankan perannya sebagai ibu dan istri yang baik. “Siapa di antara kalian para istri dan ibu yang ikhlas tinggal di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya, maka ia mendapat pahala yang kadarnya sama dengan para mujahidin di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tidak ada seorang ibu pun yang rela anaknya menderita, atau menjadi penjahat. Semua sepakat menginginkan anak-anaknya menjadi orang yang berguna, pintar lagi shaleh dan shalehah. Sebagai ibu, ia sadar posisi dan skala prioritas dalam menjalani kehidupannya. Rumah adalah basis utama kerja dan dakwahnya. Setiap belaian kasih sayangnya adalah kebaikan, setiap hukuman karena pelanggaran anak-anaknya adalah dakwah, di tiap mangkuk masakannya penuh dengan keberkahan. Oleh karenanya, nilai ibadah terbesar seorang ibu di mata Allah swt. justru membesarkan anaknya dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Kita sebagai seorang anak hendaknya mulai sadar dan mengerti betapa pedih dan panjang pengorbanan seorang ibu. Ia bukan hanya melahirkan dan membesarkan, tapi juga mengajarkan semua hal yang belum kita tahu. Ia pun rela mengalah untuk tidak makan lantaran kita belum makan. Pantaskah bila kita masih berkata “ah” terhadapnya? Bersuara keras didepannya? Bahkan menjelek-jelekkannya? Na’ûdzubillâh. Rabbighfirlî waliwâlidayya warhamhumâ kamâ rabbayânî shaghîrâ. Amin.

Awas Liberalisme…

Ada beberapa ideologi yang kemunculannya dilatarbelakangi oleh tindakan penindasan suatu kelompok kepada kelompok lainnya. Contohnya adalah Kapitalisme. Ideologi ini lahir setelah terjadinya penindasan gereja pada abad pertengahan. Desakan yang ada ketika itu adalah menolak agama secara total tanpa syarat. Dari sinilah sejarah Kapitalisme sebagai ideologi bermula dan mulai dikembangkan. Semuanya ditentukan oleh akal manusia. Agar pandangan tersebut dapat diwujudkan, maka Kapitalisme menetapkan Liberalisme (kebebasan) sebagai metode untuk merealisasikannya.[1]
Makna Liberal di dalam Ensiklopedi Britannica 2001 deluxe edition CD-ROM, dijelaskan bahwa kata liberal diambil dari bahasa Latin; liber, free (bebas). Liberalisme secara etimologis berarti sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama dan pertama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individunya. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.[2]
Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Prancis berupa sistem merkantilisme[3], feodalisme[4], dan gereja roman Katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme[5] yang mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman renaissance dan juga dari golongan Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja. Mereka menentang sistem merkantilisme dan bentuk-bentuk agama kuno dan berpaderi.
Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Di samping itu, liberalisme juga membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial.
Istilah "Islam Liberal" pertama kali digunakan oleh para penulis Barat seperti Leonard Binder[6] dan Charles Kurzman[7]. Binder menggunakan istilah 'Islamic Liberalism', sementara Kurzman memakai istilah 'Liberal Islam'. Secara tersirat kedua-duanya mempercayai bahwa Islam itu banyak; 'Islam Liberal' adalah salah satunya. Namun sebelum kita melanjutkan perbincangan ini, kita mesti nyatakan dahulu bahawa Islam itu satu dan tidak banyak. Yang nampak banyak sebenarnya adalah 'mazhab' dalam Islam, bukan Islam itu sendiri. Jadi istilah 'Islam Liberal' yang kita maksudkan disini adalah "Pemikiran Islam Liberal" yang merupakan satu aliran berfikir baru di kalangan umat Islam.[8]
Merujuk apa yang telah didefinisikan tersebut, sebenarnya pemakaian istilah Islam liberal sangat rancu, bahkan cenderung kontradiktif baik dari sisi etimologi, terminologi maupun epistemologi. Menurut Henri Shalahuddin, peneliti INSIST, dari sisi etimologi tidak satu pun kata Islam berkonotasi pada makna kebebasan seperti yang dijelaskan pada makna kata liberal. Sebab kebebasan dalam Islam senantiasa merujuk pada kata ikhtiar, yaitu kebebasan memilih yang berakar pada kata khair (baik). Dengan demikian, kebebasan dalam Islam hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat baik, sehingga seorang Muslim tidak dibebaskan untuk berbuat yang tidak baik.[9]
Pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang non-Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al Qur`an sebagai kitab suci, dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain, ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan paham lain yang berlawanan dengan Islam. Dengan mengamati coraknya, maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran Islam liberal adalah pemikiran liberal yang ditujukan kepada agama Islam. Oleh karena itu akan banyak membawa konsekuensi serius bila Islam Liberal dikategorikan sebagai bagian dari pemikiran atau madzhab Islam.[10]
Liberalisme aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga –karena kerelatifannya– maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.[11]
Ada sejumlah tokoh, cendikiawan dan para pengasong ide-ide liberal di Indonesia. Dalah kancah organisasi Islam dan masyarakat, tersebut nama-nama seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Syafi’i Ma’arif, Said Agil Siradj, Ulil Abshar Abdalla, Moqhsith Ghazali dan sejumlah nama lainnya tersebar di tubuh ormas dan lembaga masyarakat. Dalam wilayah akademisi dan pendidikan, Dr. Harun Nasution adalah orang pertama yang memasukkan paham liberalisme dan pluralisme dalam kurikulum perguruan tinggi Islam Indonesia sewaktu menjabat sebagai rektor IAIN Jakarta pada tahun 1970-an. Lewat buku wajib perkuliahan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, aqidah mahasiswa-mahasiswa Islam di seluruh Indonesia secara perlahan dan sistematis mulai tercemar dan terkikis tanpa sadar. Didukung Mukti Ali yang kala itu sedang menjabat sebagai Menteri Agama, himbauan mantan Menteri Agama RI pertama, Dr. M. Rasjidi kepada DEPAG dan petinggi IAIN tentang bahayanya buku Harun, sama sekali tidak digubris. Sampai akhirnya tahun 1977, Rasjidi menerbitkan bukunya Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution.
Dukungan Mukti Ali kepada Harun sangatlah wajar. Lewat kelompok diskusinya Limited Group di Yogya, bersama-sama Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan Dawan Raharjo, perbincangan liberalisme dan pluralisme dalam Islam ternyata sudah sejak lama menjadi kecenderungan Mukti Ali. Apalagi, yang dijadikan tempat kongkou adalah kediaman Mukti Ali sendiri. Maka cocoklah, jika Mukti kemudian dengan kedudukannya saat itu mendukung gagasan Harun meliberalkan kampus-kampus Islam di Indonesia.[12]
Ulil Abshar Abdalla bahkan pernah secara terang-terangan membuat pernyataan liberalnya lewat media massa ternama. Ia mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama dengan demikian adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pecinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18/11/2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”)
Rasulullah saw. pernah mengingatkan:
“Yang merusak ummatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (H.R. Ad-Darimy)
“Termasuk diantara perkara yang aku khawatirkan atas ummatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Qur`ân.” (H.R. Thabrani dan Ibn Hibban)
Liberalisasi Islam di Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi saat ini merupakan tantangan terbesar semua komponen ummat Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam maupun partai politik Islam. Sebab itu, tidak ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga dan jama’ah, kecuali dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.


[1] Hafizh Abdurrahman, Islam, Politik dan Spiritual, Singapura: Lisanul Haq, 1998, hal. 33
[2] Ensiklopedi Online, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme/ 7 September 2007.
[3] Merkantilisme adalah suatu teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan. Merkantilisme pada prinsipnya merupakan suatu paham yang menganggap bahwa penimbunan uang, atau logam mulia yang akan ditempa menjadi uang emas ataupun perak haruslah dijadikan tujuan utama kebijakan nasional. Pada saat Merkantilisme lahir, sistem masyarakat pada saat itu berdasarkan feodalisme. Ajaran merkantilisme dominan sekali diajarkan di seluruh sekolah Eropa pada awal periode modern (dari abad ke-16 sampai ke-18, era dimana kesadaran bernegara sudah mulai timbul). Peristiwa ini memicu, untuk pertama kalinya, intervensi suatu negara dalam mengatur perekonomiannya yang akhirnya pada zaman ini pula sistem kapitalisme mulai lahir. (diambil dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/05/24/0015.html/ 13 September 2007)
[4] Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan di mana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vazal. Para vazal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vazal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hirarkis berbentuk piramida. (diambil dari Ensiklopedi Online, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Feodalisme/ 3 September 2007)
[5] Humanisme pada prinsipnya mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan: humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. (diambil dari http://www.harunyahya.com/indo/buku/globalfreemasonry03.htm/ 13 September 2007)
[6] Leonard Binder adalah seorang profesor pakar politik Timur Tengah dan pemikiran Islam di UCLA. Beberapa karya yang telah dibukukan diantaranya: Religion and Politics in Pakistan (1961), Iran: Political Development in a Changing Society (1962), The Ideological Revolution in the Middle East (1964), In a Moment of Enthusiasm: Political Power and the second Stratum in Egypt (1978), and Islamic Liberalism (1988). Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies adalah satu yang paling fenomenal. Karena ia mengklaim bahwa hasil karyanya ini akan membantu cendikiawan muslim liberal untuk mengimbangi gerakan fundamentalis. (diambil dari http://www.al-islam.org/al-tawhid/islamicresurgencewritings/4.htm/ 8 Sep 2007)
[7] Charles Kurzman adalah seorang profesor sosiologi pada University of North Carolina di Chapel Hill. Penelitiannya yang terbaru adalah bidang studi Islam. Beberapa buku dan artikel yang telah dipublikasikan diantaranya: The Unthinkable Revolution in Iran, Democracy Denied, 1905-1915: Intellectuals and Constitutionalism in the Developing World. Charles Kurzman mendudukan wacana Islam liberal (liberal Islam) ini dalam akar tradisi intelektual Muslim. Sehingga Islam liberal bukan saja lahir secara sah dari rahim tradisi intelektual Muslim klasik namun juga berhak hidup dan berkembang bersama tradisi keagamaan Muslim klasik lainnya. Dalam hal ini fundamentalisme Islam. (diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Charles_Kurzman/ 3 September 2007)
[8] Ugi Suharto, Isu-Isu Sentral Dalam Pemikiran Islam Liberal:Kes Indonesia dan Pengajarannya Untuk Malaysia, http://www.muftiselangor.gov.my/E-Book/KoleksiArtikelIstinbat/IslamLiberal.htm/ 31 Jul 2007
[9] Henri Shalahuddin, Memaknai Liberalisme, http://www.insistnet.com/content/view/68/41/ 28 Juli 2007.
[10] Ibid.
[11] Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia; Fakta & Data, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2006, hal. 12-13.
[12] Baca Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, cet. ke-6, 2003.

Jumat, 05 Oktober 2007

Kamis, 27 September 2007

Dakwah dan Kebudayaan

Definisi Kebudayaan

Diskursus mengenai kebudayaan tidak pernah habis-habisnya dibahas dari masa ke masa. Kebudayaan selalu menjadi tema menarik yang patut diperbincangkan. Hampir semua sejarah dunia dan pelakunya, bahkan hingga kini hakikatnya tetap sama-sama mempejuangkan kebudayaan. Cakupan kebudayaan terlalu luas hingga peradaban suatu negeri pun, sangat dipengaruhi dengan konsep kebudayaan yang dianut. Semakin tinggi kebudayaan, semakin maju pula peradaban suatu negeri. Sebaliknya, semakin rendahnya kebudayaan, maka semakin rendah pula peradaban negeri tersebut.

Lantas apa sebenarnya kebudayaan? Apa yang menentukan kebudayaan suatu negeri? Bagaimana menciptakan kebudayaan yang unggul? Apa akibatnya, salah menentukan konsep kebudayaan? Semua pertanyaan ini penting untuk segera ditemukan jawabannya. Karena kita harus sadar, saat ini perang antar kebudayaan benar-benar nyata, bahkan tanpa sadar selama ini kita justru telah termakan kebudayaan asing yang tidak jelas tujuan dan cenderung menghancurkan serta merugikan.

Kebudayaan ternyata memiliki definisi yang tidak sedikit. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganic, karena kebudayaan diwarisi turun-temurun dari generasi ke generasi. Walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran. Kebudayaan meliputi semua bidang yang seolah-olah tanpa ada batasannya. Dengan demikian sukar sekali mendapatkan pembatasan pengertian atau definisi yang tegas dan terinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya termasuk dalam pengertian tersebut. Krober dan Kluckhora mendaftar lebih dari 160 definisi yang dapat ditemukan untuk menjelaskan makna kebudayaan.

Diantaranya pendapat seorang antropolog, E.B. Taylor (1871), yang memberikan definisi kebudayaan sebagai suatu tatanan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

Unsur Kebudayaan

Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat tentu memiliki corak dan warna yang berbeda satu dengan lainnya. Tapi bila ditarik cross cutting aviliation (benang merah), dalam pandangan Barat, kebudayaan pada hakikatnya memiliki unsur-unsur pembangun yang relatif sama. Seperti Melville J. Herskovits yang mengajukan 4 unsur pokok kebudayaan, yaitu: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik. Menurut Herskovits, bila seseorang ingin mengukur kebudayaan suatu negeri, maka cukup menganalisa keempat unsur tersebut. Keempat unsur inilah yang nantinya sangat berperan dalam pembentukan dan peningkatan kebudayaan suatu tempat.

Akan tetapi ada sesuatu yang sangat janggal, dan layak untuk dikomentari. Kenapa agama tidak dijadikan pondasi dalam menciptakan kebudayaan? Apa karena faktor sejarah hitam, Nashrani, yang berbeda dengan Islam? Kalau memang demikian, kita patut memakluminya. Namun dalam sudut pandang Islam, peran syariat dalam pembentukan kebudayaan benar-benar sangat dominan. Bahkan hampir semua kebudayaan muslim terdahulu, berkembang sebagai wujud realisasi penerapan syariat dalam kehidupan masyarakatnya.

Dengan demikian, peran syariat, lebih khususnya dakwah, mendapat tempat yang tidak dapat disepelekan. Bahkan justru esensi kebudayaan adalah penerapan syariat itu sendiri. Sedangkan dakwah adalah cara atau sarana dalam menjawab bagaimana kebudayan itu dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Penjelasan ini sama sekali tidak menandaskan bahwa Islam adalah agama kebudayaan. Bukan pula agama yang muncul karena perpaduan kebudayaan. Islam adalah agama wahyu yang murni dari campur tangan budaya manusia yang bersifat relatif.

“Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja; Islam adalah satu kebudayaan yang lengkap”, demikian pengakuan seorang pujangga ahli tarikh dan kebudayaan Prof. H.A.R. Gibb dalam bukunya yang terkenal: Wither Islam. Sepintas pernyataan orientalis ini begitu indah dan hiperbolik, tapi apakah yang dinyatakannya tersebut benar, tanpa ada kaitannya dengan pemikiran yang menyudutkan Islam? Atau justru umat dijebak dengan pernyataan ini. Secara tidak langsung pernyataan ini menggiring kita untuk mengakui bahwa Islam adalah memang sebuah agama budaya. Dengan demikian konsepsi, syariat yang terkandung didalamnya, juga bersifat seperti kebudayaan lain yang bersifat relatif, nisbi dan rentan kecacatan.

Salah seorang tokoh Islam Indonesia yang tersihir dengan pernyataan ini adalah almarhum pak Natsir. Dalam salah satu bukunya, beliau mengutip pendapat H.A.R Gibb, tanpa berusaha mengkritiknya. Baru kemudian pernyataan orientalis ini dikritisi habis oleh murid Natsir, Endang Saefuddin Anshari dalam bukunya, Wawasan Islam, dengan alasan sebagaimana disebutkan di atas.

Seorang sarjana muslim berkenegaraan Jerman, yang banyak dipengaruhi pemikiran liberal, Bassam Tibi, memasukkan pengertian Clifford Gertz tentang agama dalam bukunya, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Menurut CG, agama adalah sebuah sistem budaya, yang kemudian ditambahkan Tibi, sebagai agama budaya, maka ia merupakan simbol yang mesti terwarnai dengan konsp-konsep faktual, agar lebih realistik.

Kedua pengertian ini hakikatnya sengaja dibuat untuk menyudutkan Islam. Seakan ingin mengatakan bahwa Islam adalah juga agama budaya seperti apa yang dialami agama lain. Sampai akhirnya berharap pada satu tujuan, penghancuran Islam seutuhnya.

Dakwah dan Kebudayaan

Lembaran sejarah membuktikan bagaimana dakwah mampu menciptakan kebudayaan suatu negeri. Bangunan-bagunan indah nan artistik di Spanyol adalah bukti nyata, bahwa dakwah mampu membangun kebudayaan arsitektur dan ornamen. Masuknya Islam ke Aceh pada abad ke tujuh atau ke delapan masehi, pun banyak mempengaruhi adat istiadat setempat. Demikian besarnya pengaruh ini, sampai-sampai ada pepatah berbunyi, hukom ngo adat layee zat ngo sipheuet (hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisah). Yang dimaksud hukum di sini tentunya adalah hukum Islam. Hingga sapaan waktu berjumpa dan berpisah, tidak lagi diucapkan dengan yang lain-lain, melainkan assalâmu’alaikum (selamat Tuan) dan jawabannya wa’alaikum salam wa rahmatullâh (Tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang menerima pemberian dari orang lain, tidak lagi mengucapkan terima kasih atau kalimat yang lain, melainkan sudah diganti dengan alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Begitu pula dengan ucapan saat ada yang meninggal, mereka telah terbiasa mengucapkan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.

Banyak kemajuan peradaban yang sebenarnya bila ditelusuri lebih jauh merupakan implikasi dari kerja dakwah. Seperti kemajuan tekstil sebagai jawaban terhadap permintaan masyarakat muslim akan kebutuhan pakaian muslim dan muslimah. Bisnis travel, sebagai jawaban atas kebutuhan umat Islam pada rukun islam terakhir, ibadah haji. Usaha toilet berikut mushollanya, di tempat-tempat ramai, sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat muslim akan ibadah shalat, dan lain sebagainya. Ironisnya, kemajuan ini justru dinikmati bukan oleh kalangan muslim sendiri. Kita barangkali tidak menyadari kalau yang membuat sarung, sajadah, peci, baju koko, lembaran mushaf al-Qur’an, dan lain-lainnya, adalah hasil kreasi orang-orang Cina, yang sengaja memanfaatkan kebutuhan umat sebagai ladang mencari untung. Bagi mereka yang penting adalah profitnya. Selama tidak mengusik keberadaan mereka dan mendatangkan keuntungan, bisnis supplier barang-barang muslim merupakan pasar yang sangat menggiurkan.

Saat ini yang harus dipikirkan adalah bagaimana kebudayaan, peradaban, teknologi, ilmu pengetahuan, dapat dipegang oleh orang-orang Islam. Bagaimana umat dapat menguasai semua sektor terpenting masyarakat tersebut? Jawabannya adalah dakwah yang cantik dan terorganisir. Sudah saatnya, umat butuh bukti bukan wacana-wacana ’gombal’ yang terkesan melangit. Dakwah harus mampu mengubah kebudayaan western yang saat ini begitu menghegemonik di dunia. Mungkinkah ini terwujud?

Disusun oleh:

Sofyan Wijananto