Sabtu, 06 Oktober 2007

Awas Liberalisme…

Ada beberapa ideologi yang kemunculannya dilatarbelakangi oleh tindakan penindasan suatu kelompok kepada kelompok lainnya. Contohnya adalah Kapitalisme. Ideologi ini lahir setelah terjadinya penindasan gereja pada abad pertengahan. Desakan yang ada ketika itu adalah menolak agama secara total tanpa syarat. Dari sinilah sejarah Kapitalisme sebagai ideologi bermula dan mulai dikembangkan. Semuanya ditentukan oleh akal manusia. Agar pandangan tersebut dapat diwujudkan, maka Kapitalisme menetapkan Liberalisme (kebebasan) sebagai metode untuk merealisasikannya.[1]
Makna Liberal di dalam Ensiklopedi Britannica 2001 deluxe edition CD-ROM, dijelaskan bahwa kata liberal diambil dari bahasa Latin; liber, free (bebas). Liberalisme secara etimologis berarti sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama dan pertama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individunya. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.[2]
Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Prancis berupa sistem merkantilisme[3], feodalisme[4], dan gereja roman Katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme[5] yang mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman renaissance dan juga dari golongan Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja. Mereka menentang sistem merkantilisme dan bentuk-bentuk agama kuno dan berpaderi.
Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Di samping itu, liberalisme juga membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial.
Istilah "Islam Liberal" pertama kali digunakan oleh para penulis Barat seperti Leonard Binder[6] dan Charles Kurzman[7]. Binder menggunakan istilah 'Islamic Liberalism', sementara Kurzman memakai istilah 'Liberal Islam'. Secara tersirat kedua-duanya mempercayai bahwa Islam itu banyak; 'Islam Liberal' adalah salah satunya. Namun sebelum kita melanjutkan perbincangan ini, kita mesti nyatakan dahulu bahawa Islam itu satu dan tidak banyak. Yang nampak banyak sebenarnya adalah 'mazhab' dalam Islam, bukan Islam itu sendiri. Jadi istilah 'Islam Liberal' yang kita maksudkan disini adalah "Pemikiran Islam Liberal" yang merupakan satu aliran berfikir baru di kalangan umat Islam.[8]
Merujuk apa yang telah didefinisikan tersebut, sebenarnya pemakaian istilah Islam liberal sangat rancu, bahkan cenderung kontradiktif baik dari sisi etimologi, terminologi maupun epistemologi. Menurut Henri Shalahuddin, peneliti INSIST, dari sisi etimologi tidak satu pun kata Islam berkonotasi pada makna kebebasan seperti yang dijelaskan pada makna kata liberal. Sebab kebebasan dalam Islam senantiasa merujuk pada kata ikhtiar, yaitu kebebasan memilih yang berakar pada kata khair (baik). Dengan demikian, kebebasan dalam Islam hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat baik, sehingga seorang Muslim tidak dibebaskan untuk berbuat yang tidak baik.[9]
Pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang non-Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al Qur`an sebagai kitab suci, dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain, ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan paham lain yang berlawanan dengan Islam. Dengan mengamati coraknya, maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran Islam liberal adalah pemikiran liberal yang ditujukan kepada agama Islam. Oleh karena itu akan banyak membawa konsekuensi serius bila Islam Liberal dikategorikan sebagai bagian dari pemikiran atau madzhab Islam.[10]
Liberalisme aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga –karena kerelatifannya– maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.[11]
Ada sejumlah tokoh, cendikiawan dan para pengasong ide-ide liberal di Indonesia. Dalah kancah organisasi Islam dan masyarakat, tersebut nama-nama seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Syafi’i Ma’arif, Said Agil Siradj, Ulil Abshar Abdalla, Moqhsith Ghazali dan sejumlah nama lainnya tersebar di tubuh ormas dan lembaga masyarakat. Dalam wilayah akademisi dan pendidikan, Dr. Harun Nasution adalah orang pertama yang memasukkan paham liberalisme dan pluralisme dalam kurikulum perguruan tinggi Islam Indonesia sewaktu menjabat sebagai rektor IAIN Jakarta pada tahun 1970-an. Lewat buku wajib perkuliahan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, aqidah mahasiswa-mahasiswa Islam di seluruh Indonesia secara perlahan dan sistematis mulai tercemar dan terkikis tanpa sadar. Didukung Mukti Ali yang kala itu sedang menjabat sebagai Menteri Agama, himbauan mantan Menteri Agama RI pertama, Dr. M. Rasjidi kepada DEPAG dan petinggi IAIN tentang bahayanya buku Harun, sama sekali tidak digubris. Sampai akhirnya tahun 1977, Rasjidi menerbitkan bukunya Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution.
Dukungan Mukti Ali kepada Harun sangatlah wajar. Lewat kelompok diskusinya Limited Group di Yogya, bersama-sama Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan Dawan Raharjo, perbincangan liberalisme dan pluralisme dalam Islam ternyata sudah sejak lama menjadi kecenderungan Mukti Ali. Apalagi, yang dijadikan tempat kongkou adalah kediaman Mukti Ali sendiri. Maka cocoklah, jika Mukti kemudian dengan kedudukannya saat itu mendukung gagasan Harun meliberalkan kampus-kampus Islam di Indonesia.[12]
Ulil Abshar Abdalla bahkan pernah secara terang-terangan membuat pernyataan liberalnya lewat media massa ternama. Ia mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama dengan demikian adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pecinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18/11/2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”)
Rasulullah saw. pernah mengingatkan:
“Yang merusak ummatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (H.R. Ad-Darimy)
“Termasuk diantara perkara yang aku khawatirkan atas ummatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Qur`ân.” (H.R. Thabrani dan Ibn Hibban)
Liberalisasi Islam di Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi saat ini merupakan tantangan terbesar semua komponen ummat Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam maupun partai politik Islam. Sebab itu, tidak ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga dan jama’ah, kecuali dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.


[1] Hafizh Abdurrahman, Islam, Politik dan Spiritual, Singapura: Lisanul Haq, 1998, hal. 33
[2] Ensiklopedi Online, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme/ 7 September 2007.
[3] Merkantilisme adalah suatu teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan. Merkantilisme pada prinsipnya merupakan suatu paham yang menganggap bahwa penimbunan uang, atau logam mulia yang akan ditempa menjadi uang emas ataupun perak haruslah dijadikan tujuan utama kebijakan nasional. Pada saat Merkantilisme lahir, sistem masyarakat pada saat itu berdasarkan feodalisme. Ajaran merkantilisme dominan sekali diajarkan di seluruh sekolah Eropa pada awal periode modern (dari abad ke-16 sampai ke-18, era dimana kesadaran bernegara sudah mulai timbul). Peristiwa ini memicu, untuk pertama kalinya, intervensi suatu negara dalam mengatur perekonomiannya yang akhirnya pada zaman ini pula sistem kapitalisme mulai lahir. (diambil dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/05/24/0015.html/ 13 September 2007)
[4] Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan di mana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vazal. Para vazal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vazal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hirarkis berbentuk piramida. (diambil dari Ensiklopedi Online, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Feodalisme/ 3 September 2007)
[5] Humanisme pada prinsipnya mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan: humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. (diambil dari http://www.harunyahya.com/indo/buku/globalfreemasonry03.htm/ 13 September 2007)
[6] Leonard Binder adalah seorang profesor pakar politik Timur Tengah dan pemikiran Islam di UCLA. Beberapa karya yang telah dibukukan diantaranya: Religion and Politics in Pakistan (1961), Iran: Political Development in a Changing Society (1962), The Ideological Revolution in the Middle East (1964), In a Moment of Enthusiasm: Political Power and the second Stratum in Egypt (1978), and Islamic Liberalism (1988). Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies adalah satu yang paling fenomenal. Karena ia mengklaim bahwa hasil karyanya ini akan membantu cendikiawan muslim liberal untuk mengimbangi gerakan fundamentalis. (diambil dari http://www.al-islam.org/al-tawhid/islamicresurgencewritings/4.htm/ 8 Sep 2007)
[7] Charles Kurzman adalah seorang profesor sosiologi pada University of North Carolina di Chapel Hill. Penelitiannya yang terbaru adalah bidang studi Islam. Beberapa buku dan artikel yang telah dipublikasikan diantaranya: The Unthinkable Revolution in Iran, Democracy Denied, 1905-1915: Intellectuals and Constitutionalism in the Developing World. Charles Kurzman mendudukan wacana Islam liberal (liberal Islam) ini dalam akar tradisi intelektual Muslim. Sehingga Islam liberal bukan saja lahir secara sah dari rahim tradisi intelektual Muslim klasik namun juga berhak hidup dan berkembang bersama tradisi keagamaan Muslim klasik lainnya. Dalam hal ini fundamentalisme Islam. (diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Charles_Kurzman/ 3 September 2007)
[8] Ugi Suharto, Isu-Isu Sentral Dalam Pemikiran Islam Liberal:Kes Indonesia dan Pengajarannya Untuk Malaysia, http://www.muftiselangor.gov.my/E-Book/KoleksiArtikelIstinbat/IslamLiberal.htm/ 31 Jul 2007
[9] Henri Shalahuddin, Memaknai Liberalisme, http://www.insistnet.com/content/view/68/41/ 28 Juli 2007.
[10] Ibid.
[11] Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia; Fakta & Data, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2006, hal. 12-13.
[12] Baca Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, cet. ke-6, 2003.

Tidak ada komentar: